Berbicara mengenai interaksi tentu tidak akan ada habisnya. Sebagai anak
komunikasi, interaksi bukanlah hal yang asing untuk didengar. Interaksi menjadi
kunci dari setiap aktivitas yang dilakukan manusia sebagai seorang makhluk
sosial. Tanpa adanya interaksi, manusia tidak akan mampu mencapai tujuan atau
pesan yang ingin dia sampaikan. Selain itu, interaksi adalah bentuk identitas
manusia dalam suatu kelompok dan menjadi bagian dari kelompok itu. Ada keluarga,
pertemanan, sekolah, hingga masyarakat. Seandainya tidak ada feedback yang baik
dari seseorang/sekelompok orang yang ingin diajak berinteraksi, maka perlu
dipertanyakan dan diperbaiki lagi bagaimana proses interaksi tersebut.
Apakah
terdapat kegagalan di dalamnya atau kurangnya pemahaman dari komunikan. Nah,
interaksi dalam lingkungan sosial adalah hal yang pada umumnya dilakukan manusia
hampir 24 jam dalam kehidupannya, itu menunjukkan jika manusia hidup membutuhkan
orang lain, tidak ingin sendirian dan tidak akan pernah bisa melakukan sesuatu
tanpa orang lain. Namun bagaimana jika interaksi yang dilakukan dalam prosesnya
terdapat kegagalan? Kegagalan yang dimaksud adalah dalam berinteraksi di
lingkungan sosial dengan seseorang, sekelompok orang, atau banyak orang terdapat
beberapa kesalahpahaman yang membuat tidak adanya kesepahaman bahkan pertikaian.
Kita tahu, jika 80% komunikasi adalah sumber masalah dan 20% lainnya solusi dari
masalah tersebut. Dari beberapa pengantar singkat saya diatas, terdapat banyak
interaksi yang berjalan tidak semestinya dalam lingkungan sosial. Bisa kita
temui di sekitar lingkungan sosial, bahwa komunikasi dan interaksi yang
dilakukan akan saling mempengaruhi satu sama lain.
Sebagai seorang manusia yang
merupakan pelaku sosial, pengamat sosial, dan tokoh dalam lingkungan sosial
tersebut, tentu ada banyak hal yang pasti kita temui entah itu kegagalan
(masalah) maupun keberhasilan. Salah satu interaksi dalam lingkungan sosial yang
dianggap bermasalah, berdasarkan pengalaman pribadi yang penulis alami, yaitu
terdapatnya sisi gelap dalam komunikasi interpersonal. Hal ini berupa adanya
rasisme tercipta di tengah lingkungan sosial yang memunculkan diskriminasi
sehingga membuat rusaknya identitas komunikasi interpersonal tersebut. Secara
pribadi yang dirasakan penulis ketika berada di tengah lingkungan sosial.
Berawal dari keluarga, ketika terdapat perbedaan perlakuan baik itu secara
langsung maupun tidak langsung. Sederhananya, rasisme adalah suatu perlakuan
yang mengkategorikan manusia berdasarkan golongan tertentu. Bisa saja warna
kulitnya, bentuk tubuhnya, keterampilannya, dan sebagainya. Kemudian dalam
sebuah pertemanan.
Meski sudah berlalu, penulis pernah mengalami diskriminasi
karena warna kulit dan bentuk tubuh yang tidak sesuai dengan standar kecantikan
yang diciptakan. Pengalaman lainnya dalam berinteraksi di lingkungan sosial ini
yang bermasalah ketika berkomunikasi secara verbal, menggunakan bahasa. Saat
itu, bisa dikategorikan sebagai seorang minoritas. Ketika berkomunikasi
menggunakan bahasa dengan dialek yang masih kental khas daerah, meski kami
sama-sama orang minang, tapi minangnya Pariaman dengan Payakumbuh atau Padang
dengan Pasaman tentu berbeda. Hal tersebut mengundang tertawaan, dipandang
remeh, dan dianggap aneh. Hal yang sama juga berlaku ketika berinteraksi dengan
mereka dan mereka juga menggunakan dialek asal mereka, sehingga terdapat sikap
etnosentrisme yang menimbulkan diskriminasi dalam interaksi yang dilakukan.
Lantas akar permasalahan dari kasus tersebut adalah stereotip yang sudah melekat
pada masyarakat Indonesia, khususnya. Belum lagi pengaruh media yang semakin
menanamkan stereotip di lingkungan sosial. Beberapa diantaranya seperti:
Seringkali kita melihat pada tayangan televisi, seperti iklan sabun wajah, body
lotion, atau alat kecantikan yang mengeksploitasi wanita. Menjadikan wanita
sebagai objek komersialitas media, yang menanamkan stereotip bahwa wanita
berkulit gelap itu jelek. Hal tersebut terlihat jelas ketika ada satu wanita
berkulit gelap dan satu lagi wanita berkulit putih. Nah, dengan begini akan
tertanam bahwa benar jika cantik haruslah putih, realita pada umumnya. Bukan
hanya konsep yang ditanamkan wanita, tapi juga pria secara tidak langsung,
seperti mereka hanya tertarik pada wanita yang good looking, putih, dan menarik.
Kaum minoritas enggan memperlihatkan atau menunjukkan eksistensinya atas kaum
mayoritas bahkan tidak diberikan kesempatan.
Hal ini sering terjadi di
lingkungan sosial. Kemudian ada status sosial dan keterampilan menciptakan
kesenjangan yang begitu nyata dan ada prasangka sebagai akar permasalahan,
karena salah satu fungsi prasangka adalah untuk ego diri. Dengan adanya
prasangka ini, mereka berkilah bahwa apa yang dilakukan sebagai bentuk yang
benar dari persepsi mereka sendiri. Kemudian berlanjut, adanya rasa kebanggaan
dan ego yang terlalu tinggi inilah membuat terkadang seseorang memandang rendah
orang lain dan hanya menganggap bahwa mereka yang mayoritas berkuasa di atas
mereka yang minoritas. Berdasarkan apa yang penulis alami, dalam berinteraksi
dan berkomunikasi di lingkungan sosial, perbedaan perlakuan itu benar adanya.
Itulah yang membuat interaksi lingkungan sosial bermasalah. Bukan hanya itu,
saya temui juga contoh lain pada seorang teman perempuan, dia memiliki kemampuan
yang kurang dalam berkomunikasi sehingga ketika berinteraksi dengan orang lain
dia menjadi bahan diskriminasi yang sering bahkan sudah dianggap wajar di tengah
lingkungan sosial.
Kewajaran ini semakin menjadi, disaat hal ini dianggap biasa
dan bukan sesuatu yang salah. Penyelesaian yang penulis lakukan adalah dengan
meminta penjelasan dari lawan bicara atau komunikan tersebut, kemudian mengajak
mereka untuk memberikan pernyataan dan feedback yang semestinya. Bagaimana jika
hal itu terjadi pada mereka? Bukankah harusnya kita juga merasakan, bagaimana
‘menjadi’ agar ketika berinteraksi dalam lingkungan sosial mampu menempatkan
diri, mengubah pola pikir lama yang tidak sesuai dengan rasa saling menghargai.
Dari pengalaman tersebut, hampir setiap orang memiliki pengalaman yang sama
karena masalah ini adalah masalah yang paling sering terjadi dalam interaksi di
lingkungan sosial.
Solusi yang terbaik dengan mencoba untuk ‘menjadi’. Maksudnya
disini, memang setiap orang punya cara pandang dan berpikir yang berbeda, namun
dengan menjadi apa yang dirasakan orang lain, menghargai, dan menerima setiap
komunikan itu dalam berinteraksi sama, apabila dalam kelompok sosial mereka
sama-sama mencapai tujuan dan kebutuhan yang sama, apa salahnya untuk bersikap
tidak diskriminasi dan saling menghargai. Selanjutnya adalah dengan pendekatan.
Identitas seorang komunikasi, apabila dalam berkomunikasi dengan orang lain
mampu memahami siapa yang mereka ajak berinteraksi tanpa memandang status namun
mampu menempatkan diri dengan sebaik mungkin. Karena dalam lingkugan sosial hal
semacam itu memang tidak bisa dihindari, tapi sebaiknya diminimalisir. Seperti
rasisme yang terjadi pada kebanyakan wanita, dengan stereotip yang sudah melekat
dan standar yang diciptakan, penulis pikir hal ini sudah sepatutnya diubah.
Sepehaman penulis dalam berkomunikasi interpersonal tidak memandang status
karena tidak ada status dalam komunikasi interpersonal. Hal terpenting adalah,
ketika berada di lingkungan sosial mampu menempatkan diri dengan baik dan pahami
sudut pandang setiap orang itu berbeda. Sebagai makhluk sosial, konflik,
pertikaian, salah paham, sudah menjadi bagian dari itu semua, akan tetapi
kembali pada diri kita masing-masing, belajar dari pengalaman untuk di kemudian
hari.
Penulis: Eliza Nuzul Fitria